Kontroversi Ponari

090218barometer-ponari
Sumber: http://news.liputan6.com

Menanggapi artikel Mujahidin Thohir di harian Suara Merdeka yang berjudul “Sakit dan Keajaiban Ponari”, ada beberapa hal yang pantas kita renungkan. Pada dasasnya, beliau hendak mengajak kita semua untuk tidak begitu saja dengan mudah menyalahkan orang-orang yang berupaya memperoleh “keajaiban” dari tangan seorang anak kecil bernama ponari. Dari segi sosial, mereka adalah orang-orang miskin yang telah pasrah atas sakit yang menimpanya. Kenapa pasrah? Mungkin karena mereka sudah berobat ke rumah sakit namun belum juga sembuh hingga hartanya habis. Atau memang tidak mampu membayar biaya perawatan yang amat tinggi. Jangankan membayar biaya rumah sakit, untuk makan saja mereka harus rela tak beristirahat hingga mereka sakit. Jika akhirnya mereka mendengar kabar dari media bahwa seorang anak kecil terbukti mampu menyembuhkan penyakit tetangga sekitar dengan berbekal sebuah batu “ajaib”, wajar bila mereka lantas berbondong datang mengharapkan tetes keajaiban berupa kesembuhan dengan 5ribu atau 10ribu rupiah. Dilandasi dengan kepasrahan yang tinggi dan kepercayaan bahwa ia akan sembuh.
Apalagi jika mereka tahu cerita asal-usul batu tersebut yang dikatakan media turun dari langit dan menimpa kepala Ponari sesaat setelah ada petir. Seakan-akan kenyataan tersebut memperkuat keyakinan mereka bahwa batu itu benar-benar dikirimkan untuk menyembuhkan mereka. Mereka yang terpaksa menahan sakit karena tak mampu menembus dinding kapitalisme yang membuat rumah sakit menjadi begitu susah dijamah.
Selain hal itu, dengan kepasrahan mereka dilatarbelakangi ketidak mampuan menempuh jalan medis, menumbuhkan keyakinan bahwa jika tuhan berkehendak, batu pun bisa menjadi akibat mereka sembuh. Karena memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia. Jika yang kuasa berkehendak, maka terjadilah hal yang tidak mungkin. Namun, hal inipun dapat sangat berbahaya jika mereka tidak hati-hati karena dapat jatuh ke akidah yang salah. Mempercayai batu itu sebagai penyembuh.
Jadi, yang paling penting adalah jangan sampai kita lantas menyalahkan. Namun ketika menyaksikan fenomena tersebut, hendaklah kita bersyukur masih dikaruniai kesehatan. Sehingga kita tidak berada pada posisi yang amat riskan jatuh pada syirik. Bagi penguasa bangsa, hendaknya berkaca pada hal tersebut, bahwa negeri ini masih memerlukan banyak pembenahan. Tidak lagi berpikir untuk korupsi, karena bisa saja, keadaan yang terjadi tersebut karena tindakan korupsi abdi masyarakat.

Tinggalkan komentar